Berita Terkini

Sistem Peradilan Anak

28 May

777
Written by Super User

 

 
 

Oleh : S.E.D. RESIMARAN.*

sistem peradilan anak

Memang harus diakui bahwa permasalahan di bidang hukum pidana terus berkembang dari saat ke saat dan tidak seimbang dengan perkembangan dari hukum pidana kita sendiri dalam bentuk perundang-undangan yang berlaku saat ini. Modus operandi yang dipergunakan oleh para pelaku kejahatan senantiasa selalu berkembang.

Berbagai permasalahan yang timbul harus ditangani secara serius dengan maksud untuk memulihkan keadaan dalam masyarakat seperti pada saat belum terjadinya suatu tindak pidana.

Pemahaman   masyarakat Indonesia mengidentikkan   penyelesaian permasalahan hukum dengan aparat penegaknya antara lain, polisi, jaksa dan hakim.  Ketiganya merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Penyelesaian perkara pidana oleh oleh masyarakat ditempuh melalui sistem peradilan yang diatur KUHAP. Namun, akhir dari sistem peradilan tersebut seringkali belum tentu menjamin rasa keadilan dalam masyarakat. Masyarakat merasakan bahwa berat ringannya vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa belum mewujudkan keseimbangan dan mengembalikan situasi sosial dalam masyarakat.

Penegakan Hukum, erat kaitannya dengan masyarakat, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Carl von Savigny “Das recht wird gemacht est ist und wird mit dem volke” (hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Pada kenyataannya, hukum modern yang berkembang di Indonesia tidak berasal dari dalam masyarakat itu sendiri namun merupakan adopsi dari luar yang lebih banyak dari eropa.

Menurut Satjipto Rahardjo, penyelesaian perkara  melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum ke arah jalur lambat. Hal ini, karena penegakan hukum melalui berbagai tingkatan yaitu, kepolisian, kejaksaan, pengadilan yang dapat pula dibagi dalam 2 tingkat yaitu judex factie dan judex jurist.

Penyelesaian perkara pidana hendaknya lebih mengutamakan keseimbangan sosial dalam masyarakat. Keseimbangan yang dimaksud  disini yaitu antara si korban dengan si pelaku.

Konsep keseimbangan ini sejalan dengan apa yang disebut dengan asas yang sangat dikenal sekarang dan coba diberlakukan diberbagai negara yaitu asas Restorative justice.

Konsep restorative justice sistem ini, sejalan pula dengan apa yang disampaikan oleh Satjipto Raharjo yang mana menurutnya, inti hukum progresif yaitu terletak pada bagaimana berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum. Oleh karena itu, cara penyelesaian perkara pidana hendaknya tidak terpaku pada teks undang-undang.  Tujuan yang hendak dicapai adalah bagaimana penyelesaian suatu perkara pidana dapat mengembalikan harmonisasi sosial yang seimbang antara pelaku, korban dan masyarakat. Keadilan dalam restorative justice mengharuskan adanya upaya memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi kesempatan untuk dilibatkan dalam pemulihan tersebut, kesemuanya adalah bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan memelihara perdamaian yang adil.

Merujuk pada hal di atas, kemudian direspon dengan adanya  penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan kemudian dengan munculnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak.

Undang-undang ini, merupakan reformasi dalam sistem peradilan pidana. Hal ini  karena terdapat penyelesaian yang lebih fleksibel dibandingkan sistem peradilan formal yang selama ini diterapkan. Dalam pasal 5 UU No. 11  Tahun 2012, ditentukan bahwa sistem peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restorative. Undang-undang ini juga memberikan kepastian hukum atas penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan melalui DIVERSI . Diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana.

Diversi bertujuan sebagai :

  1. mencapai perdamaian antara korban dan anak;
  2. menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
  3. menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan ;
  4. menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Proses diversi yang dimaksud undang-undang No. 11 Tahun 2012, dapat terjadi ditingkat penyidikan, penuntutan maupun ditingkat pemeriksaan di pengadilan. Dalam penyelesaian tindak pidana ditingkat pengadilan yang mana  Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim dan dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Muncul permasalahan  yaitu bagaimana jika proses diversi telah disepakati oleh kedua belah pihak namun pada akhirnya menimbulkan jalan buntu dengan pengertian salah satu pihak tidak memenuhi apa yang diperjanjikan seperti kasus  dibawah ini.

KASUS POSISI :

Sepasang  muda mudi yang menjalin hubungan (pacaran). Lelaki sebut saja JAKA (16 Tahun) dan BUNGA (samaran buat wanita 15 Tahun). Keduanya  sebagai muda mudi yang berpacaran dan  saling  menyayangi   antara  satu  dengan lainnya. Selama masa berpacaran, mereka sudah sering melakukan hubungan suami isteri hingga suatu saat BUNGA diketahui telah hamil 3 bulan. Pada saat perkara tersebut sampai di tingkat pengadilan, Hakim yang menangani perkara tersebut lalu melakukan apa yang dinamakan dengan DIVERSI yaitu suatu pengalihan  penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses di luar peradilan pidana. Hasil dari DIVERSI tersebut telah tercapai kesepakatan diantara kedua orang tua pihak yaitu BUNGA dan JAKA bahwa keduanya akan dinikahkan jika sudah menyelesaikan pendidikannya (sibunga menamatkan SMP dan Si JAKA menamatkan SMA).

Pada kenyataannya, setelah kedua anak tersebut menyelesaikan studi masing-masing,  Pernikahan tidak pernah terjadi oleh karena orang tua si lelaki (JAKA) tidak memenuhi apa yang menjadi keputusan dalam Diversi dan lebih memilih mengirimkan anaknya (JAKA) untuk pergi menempuh pendidikan tinggi di luar daerah dan menikah dengan wanita lain sementara orang tua si BUNGA tetap bersikeras untuk dilangsungkan pernikahan.

Jika kita meneliti dengan seksama di dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Anak, sama sekali tidak mengatur tentang bagaimana jika Diversi di sidang pengadilan telah dicapai kesepakatan akan tetapi pada akhirnya salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya,  juga siapa yang akan mengawasi proses pelaksanaan dari diversi tersebut mengingat jangka waktu yang ditetapkan dalam kasus bunga itu,  bisa mencapai 2 tahun baru bisa dilaksanakan pernikahan.

Undang-undang hanya mengisyaratkan bahwa jika telah dilakukan diversi akan tetapi gagal dalam pengertian tidak tercapai kata sepakat, perkara dilanjutkan ke tahap persidangan.

Mengenai  hal ini, tidak dapat disangkal bahwa di Indonesia ini, tidak ada undang-undang yang sempurna atau lengkap. Pasti saja ada kekurangan atau kelemahannya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa ada dua kelemahan pokok yang potensial terdapat dalam perundang-undangan. Pertama, dari segi perumusannya terkadang kurang lengkap, jelas dan kongkret. Kedua, dari aspek muatan materinya terkadang tidak relevan lagi dengan realitas sosial.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak, malah memperluas apa yang diatur dalam pasal 7 ayat (2) dengan mana diversi hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana dibawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan, diperluas dengan pidana penjara di atas 7 tahun atau lebih.

Pada prinsipnya siapa yang melakukan kesalahan dalam bentuk suatu tindak pidana, harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hukum pidana adalah ultimum remidium yang berarti penghukuman adalah  suatu upaya terakhir yang ditempuh bilamana tidak ada upaya lain untuk menyelesaikan perkara. Perbuatan si JAKA dapat dibuka kembali dengan delik aduan yang baru ataupun bisa juga perkara yang lama dibuka kembali dengan mengesampingkan Penetapan Diversi yang pernah dilakukan mengingat diversi merupakan tahap dimana belum pernah dilakukan pemeriksaan pokok perkara di tingkat pengadilan. Secara perdata pun, orang tua si BUNGA dapat melakukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi mengingat dalam hukum pidana, tidak mengatur tentang ganti rugi dan baru diatur dalam RUU KUHP yaitu dalam pasal 99.

Dalam hukum perdata ada satu asas bahwa apa yang telah disepakati merupakan undang-undang terhadap mereka yang melakukan kesepakatan itu (pacta sunservanda), sehingga apabila salah satu melakukan wanprestasi, maka dapat dimintakan ganti kerugian.

Pertanyaan apakah dalam penjatuhan hukuman, si JAKA juga bisa dikenakan pemberatan hukuman karena telah mengingkari kesepakatan diversi dilihat dari sisi pidana?

Beberapa teori penjatuhan pidana diantaranya ajaran Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien), Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien), Teori Gabungan / Modem ( Vereningings Theorien) tergantung dari sudut mana majelis hakim melihatnya dikaitkan dengan kualitas pidana yang dilakukan oleh terdakwa disertai bukti juga masalah keadilan baik kepada korban maupun kepada si pelaku.

Seharusnya dalam perbuatan suatu peraturan perundangan-undangan, tidak hanya melihat peristiwa yang terjadi saat ini saja tetapi juga seharusnya melihat segala kemungkinan yang akan terjadi dari kejadian itu.

 

A.  Persyaratan Permintaan Penetapan Diversi dari Kepolisian

  1. Surat Pengantar Permohonan Penetapan Diversi sebanyak 1 rangkap.
  2. Laporan Polisi sebanyak 1 rangkap.
  3. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sebanyak 1 rangkap.
  4. Surat Perintah Penyidikan sebanyak 1 rangkap.
  5. Surat Laporan Penelitian Kemasyarakatan Untuk Diversi sebanyak 1 rangkap.
  6. Surat identitas Tersangka/ Orang Tua Tersangka/ BAPAS/ Penyidik harus jelas dan jelas sebanyak 1 rangkap.
  7. Surat tersebut di atas harus asli (bukan berbentuk fotokopi)

 

B. Jalur Disposisi Surat

  1. Petugas Informasi menerima surat Permintaan Penetapan Diversi dari Penyidik.
  2. Petugas Informasi menyerahkan surat dimaksud ke Kasubag Umum untuk penomoran surat masuk dan pemberian kartu kendali (lembar disposisi surat).
  3. Kasubag Umum meneruskan surat dimaksud yang telah dilengkapi kartu kendali (lembar disposisi surat) ke KPN/ WKPN.
  4. Kemudian KPN/WKPN mengembalikan surat dimaksud ke Kasubag Umum.
  5. Setelah itu Kasubag Umum meneruskan surat dimaksud yang telah didisposisi oleh KPN/WKPN ke Panitera/Wakil Panitera.
  6. Selanjutnya Kasubag Umum menyerahkan surat dimaksud ke Kepaniteraan Pidana untuk pengetikan surat yang diminta.
  7. Kemudian Kepaniteraan Pidana memberikan nomor surat dan mengetik surat penetapan dimaksud, selanjutnya meminta tanda tangan kepada KPN/WKPN.
  8. Setelah surat dimaksud ditandatangani oleh KPN/WKPN, kemudian Kepaniteraan Pidana menyerahkan surat dimaksud ke Petugas Informasi untuk diserahkan kepada Penyidik.

 

Prosedur Bantuan Hukum

28 May

842
Written by Super User

Pelayanan Bantuan Hukum

  1. Masyarakat dapat menggunakan layanan bantuan hukum yang tersedia pada setiap kantor pengadilan.
  2. Pengadilan menyediakan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang mudah diakses oleh pihak-pihak yang tidak mampu.
  3. Pengadilan menyediakan Advokat Piket (bekerjasama dengan lembaga penyedia bantuan hukum) yang bertugas pada Posbakum dan memberikan layanan hukum sebagai berikut:
      • bantuan pengisian formulir permohonan bantuan hukum;
      • bantuan pembuatan dokumen hukum;
      • advis, konsultasi hukum dan bantuan hukum lainnya baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata;
      • rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk pembebasan pembayaran biaya perkara sesuai syarat yang berlaku;
      • rujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapat bantuan jasa advokat sesuai syarat yang berlaku.
  4. Pengadilan memberikan layanan pembebasan biaya perkara (prodeo) kepada pihakpihak tidak mampu dengan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan atau kepada Ketua Majelis Hakim.
  5. Penggugat berhak mendapatkan semua jenis pelayanan secara cuma-cuma yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara prodeo. Komponen biaya prodeo meliputi antara lain: biaya pemanggilan, biaya pemberitahuan isi putusan, biaya saksi/saksi ahli, biaya materai, biaya alat tulis kantor, biaya penggandaan/fotokopi, biaya pemberkasan dan biaya pengiriman berkas.
  6. Bagi masyarakat yang tidak mampu dapat mengajukan surat permohonan berperkara secara prodeo (cuma-cuma) dengan mencantumkan alasan-alasannya kepada Ketua Pengadilan dengan melampirkan:
      • Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/Kepala Desa setempat; atau
      • Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin atau Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau Kartu Program Keluarga Harapan (PKH) atau Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT).
      • Surat pernyataan tidak mampu yang dibuat dan ditandatangani pemohon bantuan hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.
  7. Jika pemohon prodeo tidak dapat menulis atau membaca maka permohonan beracara secara prodeo dapat diajukan secara lisan dengan menghadap Ketua Pengadilan.
  8. Prosedur permohonan berperkara secara prodeo:
      • Permohonan diajukan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan dilampiri dokumen pendukung.
      • Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak permohonan itu dicatat oleh Panitera, Hakim yang ditunjuk (Hakim yang menyidangkan pada tingkat pertama) memerintahkan Panitera untuk memberitahukan permohonan itu kepada pihak lawan dan memerintahkan untuk memanggil kedua belah pihak supaya datang di muka Hakim untuk dilakukan pemeriksaan tentang ketidakmampuan Pemohon.
      • Dalam tenggang waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pemeriksaan, Pengadilan Tingkat Pertama mengirimkan berita acara hasil pemeriksaan dilampiri permohonan izin beracara secara prodeo dan dokumen pendukung ke Pengadilan, yang berwenang memutus perkara yang dimohonkan tersebut, untuk diputus apakah dikabulkan atau tidak.
      • Jika permohonan dianggap memenuhi syarat maka diberikan penetapan ijin berperkara secara prodeo. Izin beracara secara prodeo diberikan Pengadilan atas perkara yang diajukan pada tingkatan pengadilan tertentu saja.
      • Jika ternyata pemohon orang yang mampu maka diberikan penetapan tidak dapat berperkara secara prodeo dan pemohon harus membayar biaya seperti layaknya berperkara secara umum.
  9. Pengadilan menyediakan anggaran untuk biaya perkara prodeo dengan memperhatikan anggaran yang tersedia. Ketersediaan anggaran tersebut diumumkan kepada masyarakat secara berkala melalui papan pengumuman Pengadilan atau media lain yang mudah diakses.